Tuesday 29 March 2011

sexy dan cantik



Monday 21 March 2011

Sahabat saya yang baik hatinya


Sahabat saya yang baik hatinya,


Sesungguhnya,
sebab utama dari ketidak-bahagiaan orang
dalam hubungan cinta,
...bukanlah karena mereka tidak dicintai.


Mereka dicintai,
tapi dicintai dengan cara yang salah.


Tidak sedikit orang yang tidak tahu cara
yang baik untuk memperlakukan jiwa
yang mereka cintai, sehingga mereka
melukainya dengan cinta yang kasar.


Mario Teguh
MTSuperBBM.com | Marilah kita berlaku lebih lembut



Mario Teguh
Mario Teguh
Mario Teguh
Mario Teguh
Mario Teguh
Mario Teguh


Sahabat saya yang super hatinya, Seperti yang sebelumnya saya ceritakan, saya telah melalui tahap awal dari perawatan hemoreologi, yang saya istilahkan sebagai peremajaan sistem peredaran darah, bukan karena penyakit apa pun, tetapi karena memang setiap dari kita perlu meningkatkan kualitas.


Saturday 19 March 2011

menghargai sahabat

Sahabat, seringkah kita dihampiri pertanyaan-pertanyaan seperti ‘untuk apa semua ini? Apakah makna hidup saya? Kenapa hidup saya terasa datar saja, berputar-putar dari hari ke hari? Hanya pergantian episode senang dan sedih? Mengapa saya seperti dikuasai oleh kehidupan saya?’ pun mulai muncul di hati kita.


Sebenarnya, Allah setiap saat ‘memanggil-manggil’ kita untuk kembali kepada-Nya. Dengan cara apa saja. Dia, dengan kasih sayang-Nya, terkadang membuat suasana kehidupan seorang anak manusia sedemikian rupa sehingga kalbunya dibuat-Nya ‘menoleh’ kepada Allah. Hanya saja, teramat sedikit orang yang mendengarkan, atau berusaha mendengarkan, panggilan-Nya ini.

Allah terkadang membuat kita terus menerus gelisah, atau terus menerus mempertanyakan ‘Siapa diri saya ini sebenarnya? Apa tujuan saya? Apa makna kehidupan saya?,’ dan sebagainya. Bukankah kegalauan semacam ini adalah sebuah seruan, panggilan supaya kita mencari kesejatian? Mencari kebenaran? Mencari ‘Al-Haqq’? Allah, percayalah, akan selalu menurunkan pancingan-pancingan pada manusia untuk mencari-Nya.

Dalam hal ini, Allah amatlah pengasih. Apakah seseorang percaya kepada-Nya atau tidak, beragama atau tidak, Dia tidak pandang bulu. Apakah seseorang membaca kitab-Nya atau tidak, percaya pada para utusan-Nya ataupun tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya dengan cara seperti ini. Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan.

Bentuk ‘pancingan’ semacam ini pula yang dialami oleh para pencari, maupun para Nabi. Nabi Ibrahim yang gelisah dan mencari tempat mengabdi (ilah), yang diabadikan dalam QS 6:74-79. Juga kita lihat Nabi Musa, misalnya. Setelah hanyut di sungai nil, dia dibesarkan oleh salah seorang maha raja yang terbesar sepanjang sejarah, Sethi I. Hidup dalam kemewahan, kecukupan, hanya bersenang-senang. Tapi dia selalu ‘galau’ ketika melihat di sekelilingnya, bangsa Bani Israil, yang ketika itu menjadi warga mesir kelas rendahan, sebagai budak. Dia yang hidup dengan ayah tirinya Sethi I, tentunya setiap hari melihat sisi kemanusiaan ayahnya, normal saja. Dia mungkin hanya sedikit heran mengapa masyarakat mesir mau menyembah ayah tirinya itu.

Hanya saja, kadang kemewahan, kenyamanan, mengubur harta kita yang sangat berharga itu: potensi kita untuk mencari siapakah diri kita sebenarnya. Kita disibukkan oleh pekerjaan, dibuai oleh kesibukan, mengejar kesuksesan kerja, atau ditipu oleh dalih mengejar karir atau sekolah, atau nyaman bersama keluarga. Sangat sering, ketika hal ini terjadi, pertanyaan-pertanyaan esensial seperti itu, yaitu potensi pencarian kebenaran yang kita bawa sejak lahir, yang ketika kanak-kanak sangat nyata, terkubur dan terlupakan begitu saja seiring waktu kita menjadi semakin dewasa. Padahal, itu adalah ‘potensi mencari Allah’ yang Dia bekali untuk kita ketika lahir. Bukan berarti kita harus meninggalkan semua itu, bukan sama sekali. Tapi, jangan biarkan semua itu menenggelamkan potensi pencarian kebenaran yang telah Allah turunkan pada kita semenjak lahir.

Ketika kita tenggelam dalam dunia seperti itu, kita bahkan tidak menyadari bahwa kehidupan kita berputar-putar saja dari hari ke hari. Sekolah, mengejar karir, pergi pagi pulang sore, terima gaji, menikah, membesarkan anak, menyekolahkan anak, pensiun, dan seterusnya setiap hari, selama bertahun-tahun. Apakah hanya itu? Bukankah kita tanpa sadar telah terjebak kepada pusaran kehidupan yang terus berputar-putar saja, tanpa makna? Celakanya, kita mencetak anak-anak kita untuk mengikuti pola yang sama dengan kita. Pada saatnya nanti, mungkin hidup mereka pun akan mengulangi putaran-putaran tanpa makna yang pernah kita tempuh.

Sangat jarang orang yang potensi pencariannya akan Allah belum terkubur. Dalam hal ini, jika kita masih saja gelisah mencari makna kehidupan, maka kegelisahan kita merupakan hal yang perlu disyukuri.

Berapa orang, sahabat, yang masih mau mendengarkan kegelisahannya sendiri? Padahal kegelisahannya itu merupakan rembesan dari jiwa yang menjerit tidak ingin terkubur dalam kehidupan dunia. Dia ‘menjerit’ ingin mencari Al-Haqq, dan ‘rembesannya’ kadang naik ke permukaan dalam bentuk kegelisahan.

Sayang, sebagian orang segera membantai kegelisahannya, potensi pencarian kebenarannya ini, justru pada saat ketika ia timbul; karena secara psikologis hal ini memang terasa tidak nyaman. Maka untuk melupakannya, ia semakin menenggelamkan diri lebih dalam lagi dalam pekerjaannya, kesibukannya, bersenang-senang, atau berdalih menutupi kegelisahannya dengan berusaha lebih lagi mencintai istri dan anak, atau keluarga, menenggelamkan diri dalam keasyikan hobi… dan sebagainya.

Atau, membantainya dengan kesenangan spiritual sesaat, seperti datang ke pengajian bukan dengan niat mencari-Nya tapi hanya untuk melenyapkan kegelisahannya, seperti obat sakit kepala saja: ketika sakit kepala, cari obat. Kegelisahan hilang, dia pun pergi lagi..

Atau juga dengan mengindoktrinasi dirinya: “Manusia diciptakan untuk beribadah!! Segala jawaban telah ada di Qur’an!!” Oke, tapi ibadah yang seperti apa? Bisakah kita benar-benar beribadah, tanpa mengetahui maknanya? Atau lebih jauh lagi, mampukah ia menjangkau makna Qur’an?

Beranikah kita jujur pada diri kita sendiri: Jika qur’an benar, mengapa kegelisahannya tidak hilang? Mengapa qur’an seperti kitab suci yang tidak teratur susunannya? Mengapa ayatnya kadang melompat-lompat, dari satu topik ke yang lainnya secara mendadak? Jika kita beriman, apakah iman itu? Apakah takwa itu? Apakah Lauhul Mahfudz? Apakah Ad-diin? Apakah Shiratal Mustaqim? Jalan yang lurus yang bagaimana? Mengapa qur’an terasa abstrak dan tak terjangkau makna sebenarnya? Ini sebenarnya pertanyaan-pertanyaan jujur, dan sama sekali bukan menghakimi qur’an.

Kadang orang terus saja mengindoktrinasi dirinya sendiri, padahal qur’an sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang mampu menjangkaunya selain orang-orang yang disucikan/ Al-mutahharuun, (QS 56:77-79).

[Q.S. 56] “Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia (77). Pada kitab yang terpelihara (78). Dan tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan/ Al-muthahharuun (79).”

Apakah dia berani yakin bahwa dia adalah seorang yang telah disucikan, sehingga makna qur’an telah terbentang begitu jelas dihadapannya? Jika demikian, apa implikasi pernyataan : “Semua jawaban telah ada di Qur’an” baginya? Apakah ia akan terus saja membohongi diri dengan membaca terjemahan qur’an dan memaksakan diri meyakini bahwa ia telah mendapatkan maknanya?

Jeritan jiwanya tersebut ia timbun dengan segala cara. Ia tidak ingin mendengarkannya. Hal ini, sudah barang tentu akan membuat seseorang semakin terperangkap saja dalam rutinitasnya, dan semakin terkuburlah potensi pencariannya akan kebenaran. Padahal seharusnya ‘jeritan jiwa’ tersebut didengarkan. Jika anak kita menangis karena lapar, apakah kita akan pergi bersenang-senang untuk melupakannya, dan berharap anak kita akan berhenti menangis dengan sendirinya? Bukankah seharusnya kita mencari tahu, kenapa anak kita menangis?

Kembali kepada kisah Musa as. Demikian pula Musa, ia pun, sebagaimana kita semua, sejak kecil dibekali pertanyaan-pertanyaan dari dalam dirinya. Dibekali kegelisahan pencarian kebenaran. Bibit-bibitnya ada. Allah, untuk menumbuhkan bibit-bibit pencariannya itu supaya tidak terkubur dalam kemewahan kehidupan istana, menyiramnya dengan kebingungan yang lebih besar lagi.

Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya pernah membantai jutaan bayi lelaki Bani Israil. Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya menganggap Bani Israil adalah warga kelas dua yang rendah, bodoh, dan memang patut diperbudak. Puncaknya, ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa dirinya sendiri ternyata merupakan seorang anak Bani Israil, keturunan warga budak kelas dua, yang dipungut dari sungai Nil. Pada saat ini, pada diri seorang Pangeran Musa lenyaplah sudah harga dirinya. Hancur semua masa lalunya. Dia seorang tanpa sejarah diri sekarang. Ditambah lagi ia telah membunuh seorang lelaki, maka larilah ia terlunta-lunta, menggelandang di padang pasir, mempertanyakan siapa dirinya sebenarnya.

Justru, pada saat inilah ia berangkat dengan pertanyaan terpenting bagi seorang pejalan suluk, yang telah tumbuh disiram subur oleh Allah dengan air kegalauan: “Siapa diriku sebenarnya?”.

Pertanyaan ini telah tumbuh kokoh dalam diri Musa as., dan sebagaimana kita semua mengetahui kisah lanjutannya, di ujung padang pasir Madyan ada seorang pembimbing untuk menempuh jalan menuju Allah ta’ala, yaitu Nabi Syu’aib as, yang lalu menyuruh anaknya untuk menjemput Musa dan membawa Musa kepadanya.


Di bawah bimbingannya, Musa dididik menempuh jalan taubat, supaya “arafa nafsahu”, untuk “arif akan nafs (jiwa)-nya sendiri”. Dan dengan bimbingan Syu’aib akhirnya ia mengerti dengan sebenar-benarnya (ia telah ‘arif), bahwa dirinya diciptakan Allah sebagai seorang Rasul bagi bangsa Bani Israil, bukan sebagai seorang pangeran Mesir. Ia menemukan kembali misi hidupnya, tugas kelahirannya yang untuk apa Allah telah menciptakannya. Ia telah menemukan untuk apa dia diciptakan, yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:

“Setiap orang dimudahkan untuk mengerjakan apa yang telah Dia ciptakan untuk itu.” (Shahih Bukhari no. 2026)

Maka dari itu, sahabat-sahabat, jika ada diantara anda yang mungkin ingin sekali bertemu seorang guru sejati, atau seorang mursyid yang Haqq untuk minta bimbingannya, maka terlebih dahulu anda harus benar-benar mencari Allah, mencari kebenaran, mencari Al-Haqq. Pertanyaan “Siapakan aku? Untuk apa aku diciptakan?” harus benar-benar telah tumbuh dalam diri kita (dan itu pun bukan menjadi jaminan bahwa perjalanannya akan berhasil). Anda memang telah benar-benar butuh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Jika tidak demikian, atau jika belum merasa benar-benar membutuhkan, percayalah, tidak akan ada seorang mursyid sejati yang akan mengutus anak-anaknya untuk menjemput anda.

“Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, bukan semata-mata artinya “siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.” Kata ” ‘Arafa”, juga “Ma’rifat,” berasal dari kata ‘arif, yang bermakna ’sepenuhnya memahami’, ‘mengetahui kebenarannya dengan sebenar-benarnya’; dan bukan sekedar mengetahui. dan nafsahu berasal dari kata ‘nafs’, salah satu dari tiga unsur yang membentuk manusia (Jasad, nafs, dan ruh).

Jadi, kurang lebih maknanya adalah “barangsiapa yang ‘arif (sebenar-benarnya telah mengetahui) akan nafs-nya, maka akan ‘arif pula akan Rabbnya”. Jalan untuk mengenal kebenaran hakiki, mengenal Allah, hanyalah dengan mengenal nafs terlebih dahulu.

Setelah arif akan nafs kita sendiri, lalu ‘arif akan Rabb kita, maka setelah itu kita baru bisa memulai melangkah di atas ‘Ad-diin’.***



kerinduannya adalah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya, karena tidak ada persahabatan yg diawali dengan sikap egoistis.


Renungan

dengan sifat-sifat-Mu yang lembut dengan halusnya welas asih Engkau pun tahu aku lemah tiadalah Engkau menolak dengan sifat lembut dan welas-Mu dari kelemahan diriku Ilahi, bagaimana aku menjadi wakil-Mu untuk mengurus diriku padahal Engkau penjamin bagiku betapa aku akan terhina padahal Engkau Sang Penolong 


Jika manusia kehilangan sahabatnya, dia akan melihat sekitarnya dan akan melihat sahabat-sahabatnya datang dan menghiburnya…. Akan tetapi apabila hati manusia kehilangan kedamaianya dimanakah dia akan menemukannya, Bagaimanakah dia akan bisa memperolehnya kembali..?


Mendapatkan yang Anda kejar adalah Kesuksesan, tapi mencintai perjalanan selama Anda berusaha mendapatkannya itulah Kebahagiaan. Getting what you go after is success; but liking it while you are getting it is happiness


Perhatikan bagaimana alam - pepohonan, bunga, rumput - tumbuh dalam keheningan Perhatikan bagaimana bintang gemintang, rembulan, dan matahari, bagaimana mereka bergerak dalam keheningan… Kita memerlukan keheningan untuk dapat menyentuh jiwa


Wednesday 16 March 2011

Strategi Wawancara

Tiga Pilihan Dalam "Menjual Diri"

Seperti kita tahu, interview (wawancara kerja) adalah proses wajib dalam rekrutmen, seleksi dan penempatan. Biarpun perusahaan sudah menggunakan jasa assessment dari perusahaan konsultan, tetapi biasanya interview internal tetap diadakan. Melalui interview ini, perusahaan akan menggali sejauhmana kesiapan kita dalam bekerja, secara mental dan secara keahlian.

Hal lain yang juga akan digali dalam interview ini adalah sejauhmana kita punya harapan dan permohonan, misalnya gaji, fasilitas kerja, atau konsesi lainnya. Saking pentingnya interview itu, sampai-sampai banyak perusahaan yang tidak cukup melakukannya sekali. Bahkan ada yang melakukannya sampai tiga kali.
Sebagai pelamar, sebetulnya apa yang perlu dijual dalam interview itu? Tentu saja, yang perlu kita jual adalah diri kita. Maksudnya di sini adalah menjual kelebihan, keunggulan, pelayanan (skill of service), atau solusi yang akan kita lakukan, bukan menjual persoalan atau menjual masalah. Kalau masalah yang kita jual, misalnya saja kita melamar karena sudah nganggur lama dan semisalnya, biasanya malah jarang / sedikit yang mau. Kalau pun ada, rasanya pasti beda.

Sebagai penjual, pastinya kita punya pesaing yang juga menjual produk-produk semisal dengan fitur yang juga mirip-mirip sama. Kalau kita lulusan S1, yang lain juga begitu. Kalau kita siap memenuhi demand perusahaan, yang lain juga begitu. Dan seterusnya dan seterusnya. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk menyiasati persaingan semacam itu? Untuk menyiasatinya, kita bisa menerapkan atau mengadaptasi apa yang diajarkan oleh konsep marketing, seperti yang pernah dimuat di jurnal Marketing Professional, February, 2000.

Pertama, kita memberikan tangible service / product (kualifikasi standar). Ini akan cocok kalau jumlah pelamarnya hanya kita dan posisi kita saat itu "wanted". Biasanya ini terjadi pada perusahaan skala kecil-menengah dengan jumlah pegawai antara sepuluh sampai lima puluh orang. Perusahaan semacam ini sangat jarang mengumumkan lowongan kerja melalui media massa. Para pelamar datang dari referensi atau dari relasi. Apabila kita menghadapi situasi semacam ini, kita tidak usah repot-repot mendesain persiapan untuk interview kecuali yang standar-standar saja.

Kedua, kita memberikan expected service (menunjukkan kualifikasi melebihi harapan yang standar). Selain kita memiliki skill plus yang dibutuhkan perusahaan, menyiapkan bandel surat lamaran yang desainnya plus, pun juga kita sanggup menunjukkan komitmen sesuai yang diharapkan perusahaan, alias tidak asal melamar.

Ketiga, kita memberikan extra service (intangible). Artinya, selain kita memenuhi kriteria nomer satu dan dua, kita masih menambahnya dengan beberapa tindakan atau sifat yang enak dirasakan oleh interviewer dan dinilai mendukung kemajuan perusahaan nanti. Pendeknya, selain kita memiliki job skill (kompetensi tehnis), kita pun menunjukkan mental skill yang bagus (kompetensi mental).

"Sebetulnya, setiap orang adalah marketer, meskipun profesinya bukanlah di bidang marketing. Setiap orang hidup dengan menjual sesuatu dari dirinya atau dari yang dimilikinya" (Filosofi Bisnis)

Sepuluh "Jangan" Dalam Wawancara

Di zaman sekarang ini, tentu sangat jarang kita diberi kesempatan untuk menjadi wanted dalam interview. Umumnya, kita menghadapi situasi dimana kita harus bersaing dengan banyak pelamar. Situasi semacam ini tentu menuntut kita untuk menawarkan expected dan extra. Bagaimana caranya? Sebagai tambahan atau penegasan dari yang sudah kita ketahui, di bawah ini ada sejumlah "jangan" yang perlu kita hindari atau beberapa hal yang perlu kita lakukan:

1. Jangan terlalu "pede" diterima sehingga kita meremehkan persyaratan, baik tertulis atau yang tidak tertulis. Lebih-lebih ada kesan bahwa kita minta dispesialkan karena punya orang dalam atau gara-gara membawa ketebelece. Sikap kita sangat mengundang datangnya hal-hal buruk.

2. Jangan juga terlalu pesimis sehingga kita sudah tidah lagi menunjukkan harapan dan gairah. Yang pede dan optimis saja belum tentu diterima, apalagi yang sudah pesimis. Secara naluri universal, tidak ada perusahaan yang tertarik untuk merekrut orang pesimis. Intinya, jadilah orang yang pede namun tetap menjaga kesopanan.

3. Jangan terlalu banyak bertanya. Lebih-lebih pertanyaan itu mengundang penafsiran yang berbeda. Misalnya kita bertanya, apakah keuangan perusahaan ini atau masa depan perusahaan ini sehat atau tidak. Bagi sebagian orang, ini bisa dianggap menyinggung. Kalau kita ingin tahu, carilah informasi dari mantan karyawan, laporan media, atau internet. Bisa juga dengan melakukan pengamatan.

4. Jangan juga tidak bertanya sama sekali sehingga interview itu berjalan tanpa kesan. Idealnya, sebelum interview, siapkan maksimal tiga sampai lima pertanyaan yang terkait dengan pekerjaan (bukan perusahaan).

5. Hindari mematok harapan yang tidak rasional, terutama yang terkait dengan gaji atau fasilitas. Ukur dulu kemampuan (bukan keinginan), lalu simpulkan berapa layaknya, kemudian sempurnakan dengan mencari perbandingan di luar. Kalau bisa, cari informasi tentang kebijakan yang berlaku di perusahaan itu. Terakhir, keluarkan angka interval, misalnya antara satu sampai tiga. Ini kalau kita diminta menyebutkan harapan yang kita miliki.

6. Hindari mengeluarkan pernyataan yang melemahkan atau menegatifkan posisi tawar, misalnya: saya tidak mau, saya tidak bisa, saya bisa tetapi.....dan lain-lain. Gunakan ungkapan yang memperkuat posisi tawar, yang menunjukkan bahwa kita memang sudah siap secara lahir dan batin

7. Hindari berpakaian atau mengenakan perhiasan dan aksesoris yang berlebihan atau tidak sesuai dengan ukuran umum untuk posisi yang ingin kita masuki. Banyak perusahaan yang tidak suka merekrut orang yang gaya hidupnya terlalu tinggi untuk posisi yang dilamarnya atau juga terlalu rendah (tidak sesuai). Artinya, sesuaikan dengan posisi yang ingin kita masuki dan juga dengan kultur perusahaan. Kuncinya adalah moderasi dan sederhana.

8. Hindari menceritakan masalah pribadi, apalagi terkesan ingin menjual masalah pribadi untuk mendapatkan simpati dan belas kasihan. Kalau ditanya, jawablah secukupnya saja. Ingat, ada perbedaan antara hukum kehidupan yang berlaku dalam perusahaan dan dalam keluarga. Dalam perusahaan, naluri manusia lebih cenderung berpihak pada orang kuat (tidak cengeng). Tetapi, dalam keluarga, naluri manusia akan lebih cenderung berpihak pada yang lebih lemah.

9. Hindari menceritakan kejelekan perusahaan, atasan, atau lingkungan kerja yang lama. Supaya tidak terpeleset atau terpancing, siapkan jawaban atau penjelasan yang netral jauh-jauh hari. Apa yang kira-kira akan kita katakan kalau interviewer menanyakan kenapa kita keluar dari perusahaan yang dulu? Temukan jawaban yang tidak mengundang tanda tanya. Tentu saja kita perlu menghindari jawaban yang manipulatif. Misalnya kita mengatakan perusahaan itu sudah bangkrut atau pemilikinya meninggal dunia padahal masih beroperasi. Intinya, kreatiflah dalam menciptakan penjelasan, namun janganlah manipulatif.
10. Hindari menunjukkan kekurang-dewasaan dalam ucapan, sikap dan tindakan. Misalnya saja ketawa (Jawa: cengengesan) tidak pada tempatnya ketika ditanya atau bertanya tentang hal-hal kecil yang mestinya tidak perlu ditanyakan.

"Semua orang punya kesempatan mengubah hidupnya

dengan mengubah sikap mentalnya"

(William James)

Self-Disclosure & Self-Description

Dalam hubungan antar manusia dikenal dua istilah yang sepintas itu sepertinya sama tetapi sejatinya berbeda. Dua istilah itu adalah self-disclosure (pengungkapan-diri) dan self-description (penjabaran-diri). Kalau mengacu ke bukunya Mader / Mader (Understanding One Another, 1990), self-disclosure itu adalah pengungkapan tentang hal-hal yang perlu diketahui oleh orang lain dari kita untuk kebutuhan yang spesifik (relevant information, data and history) atau juga menyembunyikan sesuatu yang kira-kira tidak relevan dengan konteks dan persoalan.

Sedangkan kalau self-description itu adalah penjabaran tentang hal-hal yang umum dari diri kita, yang sifatnya permukaan. Ini misalnya saja tinggi badan, berat badan, jabatan masa lalu, nama sekolah, nama perusahaan lama, atau status pernikahan, dan seterusnya, yang bisa jadi relevan atau tidak relevan sama sekali. Jadi intinya, Self-disclosure itu sebetulnya adalah penjelasan tentang diri yang sifatnya sudah lebih dalam dibanding dengan self-description dan juga lebih relevan.

Lalu apa hubungannya dengan interview? Di lapangan, hubungan itu sangat jelas. Dari pengalaman pribadi dan juga pengalaman interviewer lain, masih sering ditemukan pelamar yang tidak menyiapkan dirinya dengan self-disclosure yang bagus. Misalnya saja kita ditanya, apa kelebihan Anda?, apa objective karir Anda?, kenapa Anda memilih posisi ini?, dan semisalnya.

Jika tanpa persiapan yang bagus, pasti jawaban kita itu datar-datar saja atau tidak menunjukkan adanya diferensiasi dengan pelamar lain. Bahkan terkadang dari jawaban itu tidak menunjukkan adanya connection antara keahlian dan pekerjaan yang akan kita masuki. Padahal, connection inilah yang dicari oleh semua perusahaan di dunia ini.

Jika jumlah pelamarnya sedikit, biasanya perusahaan akan membaca seluruh dokumen aplikasi yang kita serahkan untuk menemukan connection itu, bahkan tak jarang mengkonfirmasikannya melalui telepon. Tapi jika jumlah pelamarnya surplus, peluang kita untuk menjelaskan connection itu hanya di ruang interview. Kecil kemungkinan interviewer akan membaca seluruh dokumen dengan detail untuk menemukan connection itu.

Jadi secara garis besar, ada tiga hal yang perlu kita siapkan dalam menghadapi interview. Pertama, persiapan administratif sesuai persyaratan yang diminta, dari mulai fotocopi KTP, ijazah, referensi, surat lamaran, desain CV yang bagus, dst. Kedua, menghindari hal-hal yang sudah kita bahas di muka atau melakukan kebalikannya. Ketiga, membuat penjelasan yang relevan dengan apa yang perlu diketahui oleh perusahaan tentang diri kita, dan penjelasan itu benar-benar menunjukkan adanya differentiation dan connection (self-disclosure).

Sekedar sebagai masukan, untuk membuat self-disclosure itu perlu melihat factor-faktor penting di bawah ini:

* Temukan sisi kelebihan yang kita miliki: pengalaman, pengetahuan, keahlian teknis, komitmen pribadi, dan seterusnya.
* Temukan penjelasan yang mudah dipahami oleh orang lain bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara kita dengan pekerjaan yang kita inginkan. Tentunya dengan alasan atau bukti yang bisa diterima akal sehat.
* Buat juga penjelasan tentang keahlian lain yang relevansinya tidak langsung, misalnya kita bisa bahasa asing selain Inggris, bisa mengetik cepat, bisa menyupir, bisa mengoperasikan program komputer tertentu, dst.
* Gantilah kata "kekurangan" atau "kelemahan" dengan "hal-hal yang masih perlu kita pelajari lebih dalam dan lebih giat lagi" untuk memperkuat posisi tawar juga. Jangan sampai kita terjebak untuk menjawab pertanyaan seperti: "Apa kekurangan dan kelemahan Anda?"
* Buatlah penjelasan yang bagus, namun hindari arogansi atau manipulasi.

"Apa yang sering kita ketahui tentang diri kita dan apa yang diketahui orang lain tentang kita, sebagian besarnya dibangun dari persepsi yang kita bikin sendiri atau yang mereka bikin sendiri."

Kategori Organisasi Industri
Oleh : Ubaydillah, AN


Kata-Kata Bijak Hari Ini

Kegagalan terbesar adalah apabila kita tidak pernah mencoba
Rasa takut akan kegagalan janganlah dijadikan alasan untuk tidak mencoba sesuatu
Jalan menuju SUKSES selalu penuh lubang dan senantiasa harus diperbaiki
Kesuksesan didasarkan pada imajinasi, ditambah dengan ambisi dan kemauan
Sukses adalah tercapainya tujuan atau ide-ide setahap demi setahap





Ojo Lali Teruskan Sendiri Brow


Tuesday 15 March 2011

Ajari Aku 'Tuk Jadi Pejantan Tangguh

Huwaaa...!!!

Kaget karena terbangun jam 9 pagi. Ini nih resiko, kalau habis sholat Subuh molor lagi. Sempat ngedumel juga dalam hati, kok istri nggak bangunkan dari tadi sih? Karena teriakan sendiri, anak yang masih tidur juga langsung terbangun dan menangis, wuaah...

Lalu buru-buru ke kamar mandi, byur... byur... Nggak pakai acara nyanyi-nyanyi, seperti kebiasaan kalau lagi mandi. Berhubung mandinya super kilat, tentu saja pasti ada bagian tubuh yang kurang mengkilap. Istri yang sedang ngasih sarapan pagi untuk anak cuma senyum-senyum, sambil bernyanyi kecil.

Mandi pagi tidak biasa
Mandi sore ya sama saja
Tidak mandi sudah biasa
Badan bau luar biasa

Grrrh...!!!
Gimana sih, udah heboh begini malah diledek. Sebagai suami nggak mau dong diledekin sama istri, karena itu langsung ngasih perintah, "Udah, siapin bentou sana!" Tak lupa wajah dibuat seram. Eh, doi nggak takut, malah cekikikan, hi... hi... hi...

Tak lupa ngeledek lagi, "Makanya pacaran sama Neng Kokom jangan sampai malam." Duuh, udah bingung begini karena khawatir telat dan takut sama sensei, malah diajak becanda. Reseh juga nih!

Akhirnya semua kelar juga dan akan langsung keluar rumah. Telah sampai di depan pintu, istri sempat teriak, "Idih, mau langsung berangkat. Lupa ya?"

Apaan sih? Kok jadi telmi begini. Emang benar, tergesa-gesa itu perbuatan setan, hingga semua kebiasaan jadi terlupakan. Oh iya! Balik lagi, muah... muah... buat istri dan buah hati tercinta.

Tak lupa istri berkata, "Nah gitu dong, jangan awal-awal nikah saja muah-muahnya," katanya sambil kembali cekikikan.

Grrrh...!!!
Pakai acara disindiri lagi. Duuh Gusti Allah, tabahkan hamba-Mu ini.

***

Wah, ternyata hari ini memang kurang bersahabat. Kesiangan ke kampus dan di luar hujan turun dengan deras. Tapi nekat, maju tak gentar menerobos hujan. Karena angin yang bertiup kencang, rangka payung jadi patah. Masih untung pakai jaket walau tak urung sebagian tubuh jadi basah. Duuh, ada apa sih hari ini, mengeluh dalam hati.

Fuih...
Akhirnya dengan masih terengah-engah, tiba juga di ruang seminar. Walaupun teman-teman sudah berkumpul, tapi sensei belum juga datang. Kadang mikir, kalau sama sensei kok takut telat ya, tapi sholat kok selalu terlambat? Tapi sholat kan waktunya panjang, ntar juga bisa. Lagipula Allah juga Maha Pemaaf, berkata dalam hati untuk membenarkan diri sendiri.

Tak lama, seorang laki-laki umuran yang selalu mengenakan kacamata tebal dengan bingkai berwarna hitam serta rambut di kepala yang sebagian sudah hilang pun datang. Serempak, seluruh penghuni ruangan mengucapkan salam seraya sedikit menundukkan kepala.

Setelah itu, waktu pun berjalan dengan sangat lamban. Entah apa yang dijelaskan oleh teman-teman yang lagi presentasi. Duuh, sudahlah menggunakan bahasa Jepang, ditambah lagi ngomongnya cepat sekali. Alhasil, lebih banyak bengong daripada mengerti. Kenapa mereka enggak pakai bahasa Inggris saja ya? Kan setidaknya bisa lebih dipahami. Wah, ngeluh lagi. Tapi, kok malah nyalahkan orang, salah sendiri ngapain kuliah di Jepang!

Syukurlah, akhirnya selesai juga. Kalau lebih lama, mungkin sudah tertidur di kursi. Lalu ke ruangan lab, buka komputer untuk cek email.

Gedubrak...!!!
Banyak banget email yang masuk hari ini, padahal baru semalam dihapus. Orang Indonesia memang sifatnya ramah dan hobi ngobrol, apalagi kalau udah 'ngompol'. Semua seakan-akan jadi pakar, dan merasa pendapatnya yang paling benar. Sibuk sih sibuk, tapi ngobrol selalu jalan terus. Lalu asyik membaca email sambil minum secangkir teh hangat.

Uhuk... uhuk...
Jadi kaget hingga keselek, karena ternyata sensei sudah berdiri di samping meja belajar. Mungkin karena keasyikan menelaah kalimat demi kalimat di setiap email, jadi tidak menyadari kehadiran beliau. Tak banyak yang dikatakannya, selain hanya meletakkan setumpuk lembaran kertas yang penuh coretan berwarna merah sambil mengatakan kalau perbaikannya harus selesai malam ini juga.

Walah, ngerjain banget nih. Emang enak bikin jurnal? Sudahlah masalah grammar kadang membingungkan, belum lagi ide yang harus dijabarkan dengan pembuktian yang benar. Duuh, akhirnya mengeluh lagi.

Sekelebat pikiran melayang, membayangkan istri dan anak di rumah. Ah, pasti mereka lagi enak-enakan. Kulkas yang penuh beraneka ragam makanan, bisa jadi cemilan buat dimakan. Kalau ngantuk, tinggal tidur. Apalagi dingin-dingin seperti ini, pasti lebih enak meringkuk di dalam selimut. Enggak mesti suntuk menghadapi buku-buku dan berpuluh-puluh jurnal yang harus dirujuk. Wah, jangan-jangan istri dan anak benaran lagi tiduran setelah kenyang makan cemilan. Uh, jadi iri!

Karena puyeng dengan segala macam teori yang menjejali otak, akhirnya merebahkan kepala di atas meja belajar. Sebentar melepaskan rasa penat dan kesuntukan.

***

Langit berubah kelam, tak lama gerimis menyibak celah-celah hitamnya awan. Sebentar saja, hujan turun dengan derasnya mengurapi bumi. Dalam hujan, desau angin terdengar kencang sekali. Beberapa kali pula, halilintar menggelegar dan memekakkan telinga. Aku pun segera berlari dan berteduh di emperan pertokoan di dekat sebuah terminal. Bergabung dengan begitu banyak wajah-wajah yang juga tampak mengeluh karena hujan menghambat mereka untuk segera pulang ke rumah.

Namun...
Terdengar kecipak-kecipak kaki menyibak genangan air, dan kemudian terlihat wajah-wajah mungil yang berseri-seri. Tampak bocah-bocah kecil mengenakan kaos yang sedikit robek dan bercelana pendek, serta tak sedikit yang bertelanjang dada. Kaki-kaki tanpa alas itu berlari mengejar bus-bus yang baru tiba seraya berteriak, "Payung... payung...!!!"

Mereka juga berlari dengan semangat ke sana ke mari sambil menggenggam payung yang berukuran besar dibandingkan dirinya sendiri. Kulihat mereka meminjamkan payung besarnya itu setelah tawar menawar kepada yang ingin menggunakan jasanya. Setelah memberikan payungnya, mereka berlari di belakang dan mengikuti orang yang menyewa dengan langkah-langkah kecil setengah berlari.

Tak urung mereka terlihat menggigil kedinginan karena hujan sebesar butiran jagung menimpa tubuh kecilnya. Sehingga, berkali-kali diusapnya air hujan yang membasahi wajah dan sekujur tubuhnya. Walaupun paras wajahnya tampak pucat, namun kulihat senyum mereka tetap mengembang. Setelah menerima uang, lantas mereka berlari untuk mencari orang yang mau meminjam payungnya kembali.

Anak-anak payung yang selalu muncul di musim hujan itu sama sekali tak kulihat mengeluh, karena bagi mereka memang tak ada waktu untuk itu. Padahal belum saatnya bagi mereka di usia yang masih begitu muda kalau harus mencari uang demi keluarga atau kebutuhan sekolah.

Aku tersenyum menyaksikan kegigihan mereka sambil menahan malu di dada. Betapa banyak nikmat dan rezeki yang telah diterima selama ini tak membuatku tambah bersyukur, malah menghabiskan waktu dengan lebih banyak mengeluh. Padahal apa sih yang kurang? Rasanya aku tak terlalu tangguh untuk menghadapi setiap permasalahan yang muncul, karena hanya bisa mengeluh dan selalu mengeluh.

Bocah-bocah kecil itulah sesungguhnya pejantan-pejantan tangguh. Mereka tak pernah ragu dan mengeluh karena harus menantang kehidupan yang keras serta terkadang angkuh. Aku kembali tersenyum lalu bergumam seraya menatap mereka, "Ajari aku 'tuk jadi pejantan tangguh."

Ups...
Tanpa sadar, terpal plastik yang melindungiku dari hujan tak mampu lagi menampung air. Tali yang mengikat terpal pada rangka itupun terlepas, dan aku yang berlindung di bawahnya menjadi basah. Dengan gelagapan aku berlari menjauhinya, namun...

"Okinasai... okinasai..." terdengar suara entah di mana, karena terdengar begitu pelan. Mataku mengerjap-ngerjap dan masih setengah sadar. Mimpi tentang kehidupan pejantan-pejantan tangguh di Jakarta pun perlahan buyar, lalu kembali ke dunia nyata. Samar-samar, tampak seraut wajah yang berkacamata tebal dengan bingkai berwarna hitam, dan kepalanya sedikit botak sambil memegang sebuah botol berisi sisa minuman mineral.

Huwaaa...!!!

Wallahu a'lamu bish-shawaab.

Abu Aufa
ferryhadary@yahoo.com 
Catatan:
Sensei= professor atau pembimbing penelitian
Bentou= kotak bekal yang berisi makanan
Neng Kokom= plesetan untuk komputer
Ngompol= ngomong politik
Okinasai... okinasai...= ayo bangun


Nama-nama Allah

Dikatakan, makna al-husna itu adalah bahwa ia merupakan suatu sifat yang tidak ada bandingnya dan termasuk sifat yang qadim (terdahulu); bukan pemberian manusia, tetapi Allah SWT sendirilah yang telah menamakan Dzat-Nya dengan itu, sejak semula dan seterusnya.

Nama-nama Allah itu sangat banyak. Ada yang mengatakan tigaratus, adapula yang mengatakan seribu satu, dan ada pula yang mengatakan seratus duapuluh empat ribu nama, sebanyak jumlah para nabi alaihismussalam, sebab setiap nabi masing-masing mempunyai nama-nama tambahan selain namanya sendiri. Ada pula yang mengatakan , bahwa nama-nama Allah itu tidak ada batasnya. Pendapat terakhir ini didukung oleh Ibnu Abbas r.a. Akan tetapi, yang paling mulia dan paling agung adalah seperti yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Turnudzi, dari Abu Hurairah r.a. , ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:

"Sesunggunya Allah SWT mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Barangsiapa menghimpunnya, maka ia akan masuk surga".

Semua asma itu, baik yang dimuat maupun yang tidak dimuat di dalam hadis ini, terbagi atas tiga bagian:

Pertama, nama-nama Dzat, yaitu yang ditujukan kepada Dzat yang tinggi dan bukan kepada nama atau fi'il (perbuatan) lain. Sifat ini, sebagaimana kita ketahui, tidak tepat untuk dinisbatkan kecuali kepada lafal Jalalah.

Kedua, nama-nama sifat seperti Al-Lathif, Al-Khabir, Ar-Rahim, yaitu semua nama yang ditujukan kepada sifat-sifat Allah SWT.

Ketiga, nama-nama af'al, yaitu semua nama yang ditujukan kepada salah satu fi'il Allah SWT.

Bahwa jumlah asma Allah SWT itu adalah sembilan puluh sembilan; jumlah keseluruhannya ganjil, bukan genap, dan ganjil itu lebih utama daripada genap, sebab "Allah adalah witir (ganjil) dan suka kepada yang ganjil."

Bahwa asma tersebut, menurut yang diriwayatkan, tersusun dengan jelas, yang tidak diketahui keadaannya kecuali oleh Allah SWT, sekalipun terlintas dalam benak seseorang susunan lain yang dikranya lebih utama daripada susunan yang diberitakan. Para salaf yang saleh dahulu telah mempergunakan susunan yang diriwayatkan ini dalam wirid-wirid dan do'a-do'a mereka , agar peribadatan yang dilakukannya sesuai dengan susunan tersebut, dan itu lebih mendatangkan rahmat dan berkah.

Bahwa sabda Nabi SAW: "Barang siapa ahshaha (menghimpunkannya) akan masuk surga," maksudnya tentu bukan ahsha dalam arti menghitung jumlahnya saja, sebab surga itu tidak berhak dicapai kecuali dengan mengorbankan jiwa dan harta di jalan Allah. Bagaimana mungkin surga dapat dicapai hanya dengan menghitung jumlah lafal yang dilakukan oleh manusia dalam waktu yang pendek itu? Karena itulah, ada pendapat yang mengatakan bahwa makna ahshaha itu adalah "menghafal dan beribadat dengannya."

Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya ialah orang yang mencarinya di dalam Al Quran hingga asma yang sembilan puluh sembilan itu dapat dipetiknya dari sana - hal itu tidak mungkin dicapai kecuali sesudah menghasilkan ilmu-ilmu ushul dan furu'. Barangsiapa telah berusaha keras dan telah mencapai derajat ini, maka ia telah mencapai tujuan yang tertinggi dalam ubudiyah (pengabdian).

Ada pula pendapat yang mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan ahshaha itu adalah "memahami dan mengamalkan apa yang dituntutnya". Misalnya, ketika menyebut nama-Nya Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rizki), maka ia merasa yakin bahwa rizki itu berasal dari Allah; dan ketika menyebut nama Allah An-Naafi' dan Adh-Dharr, ia mengetahui bahwa kebaikan dan kejahatan itu berasal dari Allah, dan ia harus mensyukuri kebaikan dan sabar atas bencana. Demikian seterusnya.

Adapula yang mengatakan bahwa makna ahsha itu adalah "berakhlak sesuai dengan makna asma yang dilafalkannya, seperti sifat sabar yang ditunjukkan oleh kata Al-Halim, dan dengan sifat pemurah yang ditunjukkan oleh kata Al-Karim; demikian seterusnya.

Adapula yang mengatakan bahwa makna ashaha itu adalah mengetahu arti-artinya . Dan ada pula yang mengatakan bahwa maknanya adalah menghafalkannya di luar kepala.

Asma ul Husna Dikutip dari Buku Rahasia Nama-nama Allah Yang Indah Al Ustadz Mahmud Samiy, Pustaka Hidayah, Mei 1993


Sunday 13 March 2011

Godaan Dunia

Dalam kisah Isra' dan Mi'raj, dunia secara simbolik digambarkan seperti wanita lanjut usia (lansia). Tapi, meski sudah lansia, ia tetap ingin tampil lebih menarik. Ia tidak lupa mempercantik diri dengan dandanan dan aksesori yang beraneka ragam. Itulah dunia yang, karena kecantikannya, sangat digemari manusia meski usianya sudah sangat tua.

Manusia memang memiliki kecenderungan yang sangat kuat kepada dunia dan kemewahannya. Allah SWT berfirman, ''Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah tempat kembali yang baik (surga).'' (Ali 'Imran: 14).

Perkataan dunia dalam ayat di atas, menurut Imam Ghazali, dapat dipahami secara fisik dan nonfisik.

Secara fisik dunia menunjuk kepada seluruh benda-benda yang ada di alam ini, sedangkan secara nonfisik (rohani), dunia menunjuk kepada sikap dan perbuatan (A'mal al-qulub) terhadap dunia itu sendiri seperti sifat loba, serakah, sombong, dan membanggakan diri. Bagi Ghazali, semua sifat-sifat ini disebut dunia dalam arti bathini atau rohani.

Sebagai tokoh sufi, Ghazali banyak memberikan nasihat dan taushiyah dalam soal dunia ini. Intinya, ia mengingatkan agar manusia tidak tergoda dan teperdaya oleh daya tarik dunia. Pesannya, ''Wahai sekalian manusia, jangan sekali-kali kalian condong pada dunia, karena ia suka menipu dan memperdaya. Tipu dayanya terkadang membuat kamu jatuh hati. Ia terus bersolek di hadapan para penggemarnya, sehingga ia tak ubahnya seorang pengantin wanita yang sangat cantik jelita. Semua pandangan tertuju padanya. Semua orang terpikat dan merindukannya. Namun, jangan kalian lupa, betapa banyak orang yang merindukannya justru dibunuhnya, dan orang yang sepenuh hati mencintainya justru dikhianatinya.''

Agar tidak tertipu, menurut Ghazali, setiap Muslim perlu mengetahui hakikat dunia, termasuk mengetahui mana yang buruk, mana yang harus dijauhi, dan mana yang boleh diambil. Dalam kaitan ini, dunia terbagi ke dalam tiga kategori. Pertama, bagian dunia yang bernilai abadi dalam arti berguna dan bermanfaat bagi manusia di akhirat, yaitu ilmu dan amal.

Kedua, bagian dunia yang merupakan kesenangan sesaat dan tidak ada nilainya sama sekali di akhirat kelak, seperti bersenang-senang dan berfoya-foya dengan kenikmatan dunia.

Ketiga, bagian dunia yang mendukung kebaikan akhirat. Bagian ini tidak sama dengan bagian pertama, tapi merupakan pendukung dan sarana bagi terwujudnya bagian pertama.

Dari bagian ini, yang diburu oleh banyak manusia justru bagian kedua, yaitu bagian yang pada akhirnya akan membuat manusia menderita. Hal ini, karena bagian tersebut hanya akan mendatangkan dua hal saja, yaitu hisab (audit dan pertanggungjawaban kekayaan) dan azab atau siksa. Kata Nabi, ''Harta itu halalnya hisab sedangkan haramnya merupakan azab.'' Jadi, kalau begitu, kita harus pilih bagian pertama dan ketiga, supaya kita selamat dari godaan dunia.


Berita Lowayu Ahli Waris Alquran

Nabi Muhammad SAW, seperti halnya semua nabi, tidak mewariskan harta, tetapi mewariskan ilmu, kebenaran, dan ajaran dari Allah SWT. Dalam hadis sahih disebutkan, ''Kami para nabi tidak mewariskan (harta). Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah.'' (HR Bukhari).

Apa yang ditinggalkan Nabi, seperti disebut dalam hadis di atas, menurut pendapat banyak pakar, adalah ilmu atau kebenaran dari Allah. Ilmu atau ajaran Tuhan sebagai peninggalan Nabi merupakan sedekah alias menjadi aset atau kekayaan milik seluruh umat manusia, khususnya orang-orang yang beriman kepada Nabi.

Itu sebabnya dikatakan, ''Al-ulama waratsat al-anbiya.'' Artinya, para ulama adalah ahli waris para nabi. Para ulama dan seluruh orang beriman sesungguhnya adalah ahli waris Nabi Muhammad SAW. Sebagai ahli waris, mereka wajib menerima ajaran Islam, memperjuangkan, dan mewujudkan dalam realitas kehidupan.

Firman Allah, ''Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan.'' (Fathir: 32). Sebagai ahli waris Alquran, kaum Muslim menurut ayat di atas ternyata terbagi ke dalam tiga kelompok.

Pertama, zhalim linafsih, merupakan kelompok orang yang menganiaya diri mereka sendiri. Menurut mahaguru tafsir Ibnu Katsir, mereka adalah orang-orang yang suka meninggalkan kewajiban-kewajiban agama dan melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT (muharramat).

Kedua, muqtashid, merupakan kelompok pertengahan (moderat). Mereka adalah orang-orang yang melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua larangan agama, tetapi mereka belum mampu melaksanakan hal-hal yang bersifat anjuran (mustahabbat) dan hal-hal yang bersifat keutamaan (ihsan) serta belum bisa meninggalkan hal-hal yang makruh dan syubhat.

Ketiga, sabiq bi al-khairat, merupakan kelompok terdepan dalam kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dengan sempurna. Mereka dapat disebut sebagai pelopor dan motivator kebaikan, sehingga mereka disebut al-muqarrabun, yaitu orang-orang yang dekat atau didekatkan kedudukan mereka di sisi Allah SWT (Waqi'ah: 11).

Menurut Imam al-Razi, kelompok pertama merupakan cermin dari orang yang dikendalikan oleh hawa nafsu, sedangkan kelompok kedua merupakan cermin dari orang yang berjuang. Suatu kali mereka menang, tetapi pada kali yang lain mereka kalah atau dikalahkan. Sementara kelompok ketiga merupakan cermin dari orang yang menang dan mampu mengalahkan godaan nafsu dan setan.

Setiap Muslim, setingkat dengan kemampuan yang dimiliki, wajib berusaha meningkatkan kualitas diri dari strata zhalim linafsih ke strata muqtashid, dan selanjutnya dari muqtashid ke strata sabiq bi al-khairat, sebagai strata paling tinggi dan yang merupakan ahli waris Alquran dalam arti yang sebenar-benarnya. Wallahu a'lam. (A Ilyas Ismail)



 
Copyright 2010 Lowayu Community. All rights reserved.
Themes by Bonard Alfin l Home Recording l Distorsi Blog